PENCERAHAN RASA
Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
Sebagai
umat manusia, kita telah mengetahui bahwasanya Tuhan amat dekat dengan diri
kita, tidak pernah ada jarak antara kita
dengan-Nya. Namun jarang kita meresapi dalam diri apa arti kedekatan dan bagaimana
sesungguhnya arti dari kata “dekat” itu.
Apa
hakikat kedekatan Allah dengan hamba-Nya? Pertanyaan ini sangat penting kita
temukan jawabannya. Siang dan malam kita selalu bersujud dan beribadah
kepada-Nya, tetapi sangat merugi bila kita sendiri tidak mengenal dan merasakan
siapa sebenarnya Tuhan yang selama ini kita sembah. Apakah Dia berada di atas
langit ketujuh, bintang-bintang atau berada di dalam Ka’bah di Masjidil Haram.
Di
dalam diri manusia, Allah SWT telah meletakkan rasa dan perasaan sebagai modal
untuk menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. Rasa mempunyai peranan sangat
penting bagi manusia, dan rasa menjadi alat dari kehidupan yang Allah SWT
titipkan kepada manusia.
Rasa
terbagi dari tiga kategori pada diri manusia. Pertama, rasa jasmani, rasa yang
merasai manis, pahit, asam, asin, panas, dan dingin. Rasa ini berhubungan
kepada saraf-saraf di jasad manusia bahkan dimiliki juga oleh makhluk lainnya.
Kedua,
rasa ruhani, rasa yang merasai suka, duka atau benci, sayang atau cinta terhadap
sesuatu. Rasa ruhani ini merupakan rasa yang selalu berhubungan dengan jiwa
manusia. Maka dengan rasa ini pula manusia dapat saling berhubungan dengan jiwa
manusia. Rasa ruhani sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi hati manusia.
Rasa ruhani ini pun dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan hati kita.
Ketiga,
rasa nurani, merupakan bagian yang terpenting pada diri manusia yang terletak
di dalam hati nurani manusia. Rasa ini bagaikan satelit yang menangkap
sinyal-sinyal keberadaan adanya Tuhan di dunia ini. Walau ada segolongan manusia
yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi di saat mereka sangat
membutuhkan pertolongan pada waktu-waktu tertentu, dan tidak satu pun makhluk
yang dapat menolong dan membantunya, maka mereka menyadari hanyalah Tuhan yang
bisa menolongnya di dunia ini. Mereka akan memanggil nama-Nya walau mereka
sembunyikan jauh di dalam hati mereka.
Dalam
dunia tasawuf, rasa nurani menjadi bahan penting untuk mencari rasa kedekatan
terhadap Allah SWT. Karena dengan rasa nurani ini manusia dapat menghadirkan
Tuhan dalam diri mereka. Dalam hal ini para sufi selalu melatih rasa ruhani
dengan berbagai metode zikir dan doa. Semakin dalam rasa ruhani seorang sufi,
semakin tinggi kualitas rasa kedekatannya kepada Allah SWT, bahkan tidak jarang
di antara mereka yang mabuk dan merasa bersatu dengan Tuhan, karena saking
dekatnya Tuhan di dalam rasa nuraninya, padahal itu hanya perasaan yang mereka
jadikan kenyataan.
Tuhan
mustahil dapat bersatu dengan hamba-Nya, dan mustahil berjarak dengan hambanya.
Kalaupun para sufi menyatakan kesatuannya dengan Tuhan, itu hanyalah ungkapan
rasa yang tidak dapat dipegang dalam arti yang sebenarnya. Bersatunya hamba
dengan Tuhan amatlah mustahil, kecuali jika bersatu di dalam rasa. Walaupun
demikian, keberadaan Tuhan tetaplah dekat dan tidak pernah berperantara dengan
hamba-Nya.
Untuk
merasakan keberadaan Tuhan yang amat dekat membutuhkan rasa nurani, tidak
menjadikan rasa itu sebagai tujuan dari pandangan mata hati. Karena hal itu
akan membuat kita terjebak dalam lingkaran rasa, sehingga seorang sufi yang
seharusnya menjadikan rasanya untuk memandang Tuhan, namun ia jadikan rasa
dekat tersebut sebagai tujuan bersatunya dengan Tuhan. Inilah awal kesesatan di
antara para sufi.
Memang
diakui dengan rasalah tuhan itu dekat, namun bukan berarti rasa dekat tersebut
diartikan sebagai kesatuan. Dan rasa dekat yang Allah SWT berikan bukan tujuan
dari pencarian kita. Rasa dekat kepada-Nya merupakan jembatan kita untuk
memandang-Nya, bukan untuk bersatu dengan-Nya. Rasa dekat menjadi batu loncatan
bagi kita untuk melihat-Nya, bukan bersatu Zat-Nya.
Kenapa
dengan rasa dekat itu kita dapat melihat dan memandang Zat-Nya? Kita yakini
bahwa rasa dekat mustahil terbit dari akal, sebab akal hanya membuahkan
pemikiran bagi manusia. Begitu pun dengan keinginan kita, tidak dapat
menerbitkan rasa dekat dengan-Nya, melainkan hanya berkeinginan untuk dekat
dengan-Nya.
Setelah
diyakini bahwa rasa kedekatan dengan Tuhan merupakan pemberian Tuhan, maka
jadikanlah rasa dekat sebagai sarana dan jembatan jiwa untuk memandang Zat
Tuhan dibalik rasa tersebut. Hanya Zat-Nya yang berada di balik rasa tersebut.
Contoh, bila kedua mata kita ditutup hingga tidak sedikitpun celah untuk
melihat, kemudian saat itu lidah kita merasakan pedas, maka spontan kita
menyatakan pedas itu pasti berasal dari cabe. Demikian juga, saat kita
merasakan manis, maka kita mengatakan itu adalah gula, walau kedua mata kita
telah tertutup rapat.
Nah,
ketika kita dapat merasakan dekat dengan Tuhan, apakah itu di saat shalat,
zikir atau di mana dan kapan pun, mengapa kita meyakini sumber kedekatan rasa
pada diri kita tersebut adalah Zat Tuhan. Maka hendaklah jatuhkan pandangan Zat
Tuhan tanpa ada jarak dan perantara dengan diri kita.
Di
sinilah kita dapat melihat Tuhan tanpa ada jarak dan pembatas. Di sinilah kita
akan melihat Tuhan itu nyata tanpa ada bentuk maupun wujud, tanpa warna namun
jelas, hampa namun terang, lebih terang dari segala yang bercahaya.
Mengapa
kita meyakini rasa pedas dari cabe? Mengapa kita dapat memastikan rasa manis
berasal dari gula? Sebab kita takut dikatakan bodoh dan hanya orang kehilangan
akal yang mengatakan rasa pedas dari bula dan rasa manis dari cabe. Kita dapat
memastikan bahwa di balik rasa pedas itu ada cabe sebagai zatnya, begitu pun di
balik rasa manis mesti ada gula sebagai zatnya. Demikian juga, ketika kita
merasakan keberadaan diri kita, di balik rasa yang merasakan tersebut, pasti
adalah kita sebagai zatnya.
Kedekatan
dengan Tuhan merupakan milik Tuhan sebagai pemberian-Nya kepada kita. Di balik
rasa kedekatan tersebut telah berdiri zat Tuhan, sebagi satu-satunya pemilik
rasa dekat. Di situlah tujuan pandangan mata hati kita tumpukan. Inilah yang
dimaksud dengan memandang Tuhan. Ini juga yang dimaksud dengan ungkapan para
sufi, “Aku mengenal Tuhan dengan Tuhan-Ku,” dan ungkapan lain, “Tuhan dekat
tidak bersatu, jauh tidaklah berperantara.
Sesungguhnya para sufi sering
terjebak dalam rasa dan perasaannya sendiri, sehingga keberadaan Tuhan sekedar
dirasa atau diraba-raba di dalam diri mereka, yang menjadikan mereka jatuh
dalam kesesatan yang diciptakan dan perasaan mereka sendiri. Bilamana mereka
menjadikan rasa dekat yang didapatinya hanya sebagai jembatan atau batu
loncatan untuk memandang Tuhannya, maka di saat itulah perjalanan menuju kenikmatan
indahnya Cinta Ilahi berawal tanpa ada sedikit pun keraguan pada hati mereka.
SASTRA
ILAHI: Ilham Sirriyah Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah (Pencerahan bagi Hamba Pencari Tuhan), Drs. Ahmad Rahman, M.Ag., Hikmah,
Jakarta, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar