KATPENGANTAR
Prof. Dr. H.M. Bambang
Pranowo, MA
(Cendikiawan Muslim)
Dalam suatu kesempatan tanya jawab pada acara Hikmah Pagi
TVRI, seorang ibu mengajukan pertanyaan kepada penulis yang waktu itu bertindak
sebagai nara sumber. “Indonesia ini adalah negeri muslim terbesar di dunia.
Kegiatan keagamaan di mana-mana tampak semarak. Tetapi mengapa negeri ini juga
dikenal sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya paling tinggi di
dunia?”
Pertanyaan yang sangat menohok tersebut sesungguhnya
merupakan pertanyaan banyak orang sekaligus mencerminkan kegelisahan terhadap
kualitas hidup beragama di negeri ini. Jumlah masjid dan mushalla yang terus
meningkat, jumlah jamaah haji yang setiap tahunnya merupakan yang terbesar di
dunia; ternyata tidak berkorelasi positif dengan terciptanya kehidupan yang
benar-benar agamis. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Bukankah ibadah
shalat itu mestinya mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Bukankah ibadah
puasa itu mendorong kita untuk peduli kepada mereka yang lapar dan menderita?
Bukankah zakat itu menuntun kita untuk senantiasa membersihkan harta agar harta
kita bersih dan berkah? Bukankah ibadah haji dimaksudkan untuk meraih haji
mabrur? Dan ketika Nabi Muhammad SAW. ditanya oleh sahabat: “Apakah yang
dimaksud dengan mabrur ya Rasulullah?” Ternyata Nabi menjawab: “Memberi makan
kepada mereka yang memerlukan dan menyebarkan
keselamatan!”
Kalau demikian erat hubungan ibadah mahdhah dengan amal
kebajikan, mengapa dalam kehidupan sehari-hari amal-amal yang terpuji itu tidak
terwujud? Jawaban atas pertanyaan demikian sungguh tidak sederhana. Pada acara
hikmah pagi tersebut penulis hanya menjawab bahwa hal itu sangat mungkin karena
kebanyakan kita kaum muslimin baru bergama secara ritual, tetapi belum beragama
secara aktual. Kita memang melakukan shalat, tetapi shalat kita tidak jauh
berbeda dengan olah raga. Secara fisik kita melakukan shalat, tetapi hati kita
tidak shalat. Sehingga sehabis shalat tidak ada bekas atau dampak terhadap
perbuatan kita. Asma Allah kita sebut berulang-ulang sewaktu shalat, tetapi
seusai shalat Allah tidak lagi terasa hadir. Kehadiran Allah tidak kita rasakan
ketika kita berada di kantor, di pasar, di laboratorium, di sawah maupun di
ladang. Akibatnya, kita tidak malu dan tidak takut berbuat curang, culas,
menipu atau menilep hak orang lain atau menggelapkan harta negara. Padahal
bukankah Allah itu sesungguhnya sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat
leher kita sendiri? (Q.S. Qaf/50: 16).
Seusai rekaman acara Hikmah Pagi TVRI itu masalah “kedekatan”
dengan Allah SWT. menyergap pikiran saya. Saya segera teringat dengan buku
Kalam Ilham Ilahi (Pencerahan Bagi Hamba Pencari Tuhan) yang dihadiahkan kepada
saya oleh Dr. Ahmad Rahman, peneliti dari buku tersebut. Buku tersebut berisi
kumpulan berbagai ilham dari Allah SWT. yang diterima oleh Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah yang sarat dengan seruan untuk mengenal diri sendiri dan
mendekatkan diri kepada Allah, yang disampaikan dalam untaian bahasa yang indah
dan sangat menyentuh hati. Membaca buku tersebut tanpa mengenal lebih dahulu
penulisnya tentulah orang akan membayangkan bahwa buku tersebut ditulis oleh
seorang sufi yang selain usianya sudah cukup lanjut, juga ilmu pengetahuan
agamanya sangat luas dan mendalam. Saya sendiri merasa terpukau dengan isinya.
Betapa ketika “Tuhan” atau “Allah” lebih banyak menjadi penghias ucapan
sementara perbuatan si pengucap terasa jauh dari kehadiran Tuhan, ternyata ada
seorang yang begitu dekat dengan-Nya sehingga sering disapa oleh Tuhan dengan
kata-kata “Wahai hamba-Ku” kemudian dianugerahi berbagai pelajaran spiritual
yang adiluhung. Dan, orang tersebut
bukan di Timur Tengah sana, tetapi di sini, di Indonesia yang sedang dilanda
krisis multi dimensi ini.
Memang dengan jujur harus saya katakan timbul juga
pertanyaan. Apakah ilham yang diterima oleh Muhammad Ali Hanafiah itu
benar-benar dari Tuhan? Bukankah wahyu Allah telah berakhir dengan telah
berakhirnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW? Namun akhirnya pertanyaan
tersebut saya jawab sendiri, meskipun jawaban muncul juga dalam bentuk
serangkaian pertanyaan. Bukankah dalam sebuah hadis Qudsi Allah SWT. pernah
berfirman:
“Tidak ada cara yang
dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti melaksanakan fardu-fardu-Ku dan
sesungguhnya ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah
sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya Aku menjadi
kakinya yang dengan-Nya ia berjalan, tangan yang dengan-Nya ia memukul, lidah yang
dengan-Nya ia berkata, dan hatinya yang dengan ia berpikir. Bila ia meminta
kepada-Ku Aku memberi dan bila ia berdoa Aku menerima doanya. (Muhammad
Taj al-Dīn ibn al-Manāwī al-Hadādī, Al-It-hafāt
al-Thāsaniyyah bi al- Ahādith al-Qudsiyyah, alih bahasa H. Salim
Bahreisy, Bina Ilmu Surabaya, tt., h. 76).
Dengan merenungkan firman Allah tersebut secara mendalam
kiranya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa sampai kapanpun Allah tidak
akan berhenti untuk menyapa hamba yang dikehendaki dan dicintai-Nya, meskipun
sapaan Allah tersebut tentunya tidak setingkat dengan wahyu yang diberikan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang lebih lanjut yang menggoda adalah mungkinkah
seorang Muhammad Ali Hanafiah yang usianya begitu muda (lahir tahun 1978),
hanya tamatan STM, tidak pernah belajar di pesantren, dan tidak pernah
mendalami ilmu agama atau memperoleh bimbingan dari ulama; menerima begitu
banyak kalam ilham dari Allah SWT?
Setelah mengenal Muhammad Ali Hanafiah yang akrab dipanggil
“Tuangku”, secara langsung saya berkenalan dengan sosok yang kepribadiannya
sungguh sarat dengan kelembutan, kesantunan, dan keteduhan. Dari sini saya
kemudian merasa menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan di atas, bahkan
termasuk pertanyaan besar sehubungan dengan kualitas kehidupan beragama kaun
muslimin saat ini. Ulama maupun sarjana agama memang banyak, tapi tidak cukup
banyak yang benar-benar mampu menjadi suluh bagi kehidupan yang dinafasi dengan
akhlak luhur. Bahkan penguasaan ilmu agama yang luas tidak jarang menyebabkan
orang jatuh ke dalam intelektualisme. Sehingga ilmu agama yang luas bukannya
menjadikan orang bersangkutan menjadi semakin tawadhu tetapi malah menjadi
semakin sombong dan mudah memandang rendah kepada orang lain. Padahal
penguasaan ilmu agama itu tidak identik dengan keberagamaan itu sendiri.
Penguasaan ilmu itu adalah satu hal, sedangkan keberagamaan adalah hal lain.
Bukankah sahabat Nabi, Bilal—si penyeru azan pertama itu—hanyalah seorang budak
berkulit hitam yang ilmunya sangat terbatas? Tetapi mengapa ia dinyatakan
sebagai penghuni surga yang gemerincing terompahnya di surga terdengar oleh
Nabi ketika beliau mi’raj? Adalah jelas sahabat Bilal dipuji oleh Nabi Muhammad
SAW. bukan lantaran pengetahuan atau kapasitas intelektualnya, melainkan karena
kebaikan akhlak dan kekukuhannya mengikuti kebenaran. Dan, itulah yang telah
mengantarkan sahabat Bilal kepada
derajat ruhaniah yang tinggi.
Lukman al-Hakim dan Khidir A.S. adalah nama-nama yang malahan
diabadikan dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah/2: 269 dan al-Kahfi/18: 60-82)
sebagai contoh tentang adanya orang-orang yang memperoleh anugerah berupa
hikmah dan ilmu langsung dari Allah (ilmu ladunni). Ayat-ayat Al-Qur’an itu
bersifat abadi, oleh sebab itu tentunya kemurahan Allah untuk menganugerahkan
hikmah dan ilmu ladunni kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya juga bersifat
abadi. Jadi tidak mengenal kata ‘berhenti’. Dengan kata lain, kehadiran
Muhammad Ali Hanafiah yang tidak berlatarbelakang pendidikan agama yang luas
tidak mustahil merupakan contoh yang sedang ditampilkan Allah dalam rangka
‘dekonstruksi’ tersebut.
Cara pandang demikian kiranya menjadi semakin relevan untuk
diterapkan saat di mana permasalahan dunia semakin rumit, krisis melanda
berbagai belahan dunia dan bahkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam banyak hal tidak berdaya mengatasinya. Tanpa meyakini bahwa Allah akan
tetap menyapa serta membimbing siapa saja yang dikehendaki dan yang berusaha
mendekati-Nya, rasanya manusia akan kehilangan harapan. Dan, tanpa harapan
kehidupan umat manusia tentu akan semakin runyam.
Kehadiran buku Inilah Aku merupakan revisi atas buku Hidangan Nurani Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah dan Buku Sastra Ilahi: Ilham
Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, yang merupakan cetak ulang
dengan sejumlah tambahan atas buku Kalam Ilham Ilahi yang semula peredarannya
hanya untuk kalangan terbatas. Kiranya buku ini merupakan penegasan kepada
masyarakat luas bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya terus-menerus
berada dalam kegelapan dan tanpa harapan. Selain akan memperkaya sastra sufisme
yang keberadaannya dalam bahasa Indonesia masih sangat langka, kehadiran buku
ini semoga dapat mendorong penduduk negeri yang berdasar pada “Ketuhanan Yang
Maha Esa” ini merasakan kehadiran Tuhan secara nyata. Bukan hadir dalam
kata-kata dan retorika belaka! Āmīn yā
Rabb al-‘Ālamīn.
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Nasaruddin
Umar, MA
(Wakil Menteri Agama RI)
Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mempermudah
hidup dan kehidupan manusia, dan dapat mengantar manusia memperoleh kesenangan
dan kenyamanan lahiriyah dewasa ini. Tapi manusia modern sering dinilai telah
ditimpa kehampaan spiritual. Tasawuf sebagai salah satu manifestasi nilai-nilai
spiritual Islam semakin digandrungi oleh masyarakat dewasa ini. Hal ini memberi
petunjuk bahwa hidup serba materi tidak menjamin kesenangan hidup, bahkan dapat
membawa kegelisahan. Oleh karena itu, manusia sesuai dengan fitrahnya,
membutuhkan keseimbangan hidup, lahir dan batin, materi dan spiritual. Ajaran
tasawuf memberikan perimbangan antara kecenderungan duniawi dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal trilogi Islam, yaitu iman, islam, dan
ihsan. Iman adalah sistem kepercayaan orang Islam, yaitu rukun iman, kemudian
dikembangkan secara sistematis oleh para ulama menjadi sistem teologi atau usūl al-dīn. Islam lebih
menekankan pada aspek ibadah, yang dikenal dengan nama syariah, dan kemudian
menjadi salah satu disiplin ilmu yang disebut fikih atau usul fikih. Sedangkan
ihsan lebih menekankan pada kualitas peribadatan, sehingga mengandung aspek
spiritual yang dapat dikembangkan menjadi mistik Islam atau tasawuf, sehingga seseorang
yang menyembah Tuhan seakan-akan melihat-Nya.
Pada zaman modern yang bercirikan liberalisasi, rasionalisasi,
dan efisiensi secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual.
Liberalisasi yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan adalah proses
despiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam situasi seperti ini, agama
dipandang tidak relevan dan signifikan lagi dalam kehidupan. Akibatnya,
sebagaimana terlihat pada gejala umum
masyarakat modern, kehidupan ruhani semakin kering dan dangkal. Sebagai reaksi
terhadap kenyataan itu, kerinduan masyarakat modern kepada nilai-nilai
spiritual seperti tercermin pada fenomena pada dasawarsa terakhir, sesungguhnya
hal yang wajar. Tasawuf memang menawarkan kekayaan spiritual yang bernilai
tinggi, karena ia bertolak dari keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Praktik-praktik ritual tertentu yang harus diamalkan setiap waktu dapat
memelihara hubungan ruhani secara vertikal dengan Tuhan dalam situasi yang
komunikatif. Ibadah-ibadah (ritual) itulah yang menumbuhkan kesadaran ruhani
yang pada tahap lebih lanjut mengejawantah dalam perilaku yang luhur dan mulia
(ihsan). Kesadaran seseorang bahwa ia selalu berhadapan dengan Tuhan menimbulkan
sikap ikhlas, rela, rendah hati (tawādu),
sabar, tawakal, cinta kasih, murāqabah
(merasa diawasi) dan sebagainya.
Di tengah situasi masyarakat
yang cenderung mengarah kepada dekadensi moral seperti yang
gejala-gejalanya mulai nampak saat ini, dan akibat negatifnya mulai terasa
dalam kehidupan, maka tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut
peranannya untuk terlibat secara aktif mengatasi masalah-masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, tasawuflah yang paling
memiliki potensi dan otoritas, karena dalam tasawuf dibina secara intensif
tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam
dirinya. Dengan cara demikian, ia malu melakukan penyimpangan karena merasa
diperhatikan oleh Tuhan. Tasawuf cenderung semakin menemukan momentumnya pada
masa sekarang ini. Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Padang, dan kota-kota lainnya, kaum terdidik, pengusaha,
dan masyarakat kampus, banyak tertarik terhadap kajian tasawuf.
Buku yang ada di tangan pembaca, Inilah AKU merupakan revisi atas buku Hidangan Qalbu Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah dan buku Sastra Ilahi: Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah
adalah salah satu buku kajian tasawuf yang dapat memberikan pencerahan. Saya menyadari
bahwa buku ini akan mengundang pro-kontra, dan akan memunculkan banyak
pertanyaan, seperti apakah masih ada ilham yang turun sesudah Nabi Muhammad
SAW? Bagaimana seorang Muhammad Ali Hanafiah, yang hanya tamatan STM, tidak
pernah belajar di pesantren dan tidak mendapatkan bimbingan ulama, bisa
mendapatkan begitu banyak ilham?
Kalau kita mencermati ajaran Islam, terutama Al-Qur’an
diperoleh petunjuk bahwa ada orang yang diberikan hikmah seperti Lukman
al-Hakim dan ilmu langsung dari Tuhan (ilmu ladunni) seperti Khidir a.s.
Bukankah Tuhan telah berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 269:
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendak. Dan barang siapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak”.
Sedang seorang hamba (Khidir) yang diajar langsung oleh Tuhan (Allamnāhu min ladunnā ilman) ceritanya
diabadikan dalam surat al-Kahfi (18) ayat 60-82.
Saya sudah kenal baik dengan Tuangku Muhammad Ali Hanafiah di
Jakarta. Ia mengemukakan gagasannya tentang pentingnya pencerahan umat melalui
zikir, latihan spiritual (riyādah),
dan khalwat. Dan ia juga menceritakan sebagian pengalaman ruhaninya. Pengalaman
ruhani Tuangku Muhammad Ali Hanafiah, mengingatkan saya pada pengalaman ruhani
beberapa ulama sufi yang terdapat dalam kitab-kitab seperti Hilyah al-Awliyā’ wa Tabaqāt
al-‘Ashfiyā’, karya Abu Na’im al-Asfahānī (w. 430 H/1038 M) dan Jāmi’ Karāmāt al-Awliyā’ yang ditulis
oleh Yūsuf al-Nabhānī (w.1350 H/1993 M).
Abu Nasr al-Tūsī (w. 378 H/988 M) dalam bukunya
Al-Luma’ menyebut beberapa nama yang
mendapat ilham dari Allah SWT. Al-Gazālī (w.505 H/1111 M) dalam bukunya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengemukakan bahwa
sejak Nabi Muhammad SAW. wahyu sudah berakhir, tetapi masih banyak pilihan
Allah yang mendapatkan makrifah, yang tersingkap (kasyf) baginya melalui ilham. Lebih lanjut Al- Gazālī mengemukakan
bahwa sulit untuk sampai pada tingkatan makrifah, tetapi bagi orang yang belum
sampai, seyogyanya ia bersedia mempercayainya.
Literatur sufisme yang berbahasa Indonesia masih tergolong
langkah. Kehadiran buku ini diharapkan dapat mencerahkan dan menjadi rujukan
bagi orang yang tertarik pada tasawuf.
PENGANTAR PENELITI
Dr. Ahmad Rahman, M. Ag
Pendahuluan
Alhamdulillah,
dengan izin Allah, buku yang ada di tangan pembaca, Inilah Aku: Hidangan Nurani (Ilham Sirriyah) Tuangku Syaikh Muhammad
Ali Hanafiah ini dapat diterbitkan. Buku ini telah diterbitkan oleh Hikmah,
kelompok Mizan tahun 2004 dengan judul Sastra Ilahi: Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Buku ini selain memuat kalam ilham (biasa juga
disebut ilham sirri) dalam buku Sastra Ilahi yang turun ketika diadakan
penelitian tahun 2002, ditambah juga beberapa kalam ilham yang turun sebelumnya, yang pernah dimuat
dalam buku Mutiara Hikmah. Buku sastra Ilahi memuat kalam ilham dengan bahasa
sesuai dengan aslinya, tanpa ada perbahan. Sedangkan, buku Inilah Aku diadakan perubahan supaya mudah dipahami. Dalam Sastra Ilahi memuat 119 kalam ilahi,
sedangkan dalam buku Inilah Aku
memuat 175 kalam ilahi.
Buku Sastra Ilahi disusun sebagai hasil penelitian di Padang,
Sumatera Barat tahun 2002, berjudul “Fenomena Tasawuf Perkotaan: Majelis Al-Dzikri Indonesia (MAI). Hasil
penelitian diterbitkan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Balai
Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Kementerian Agama Republik Indonesia.
Majelis Al-Dzikri Indonesia (MAI) dibentuk dan didirikan oleh
Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah pada tahun 1996 dan dikukuhkan pada tanggal 2 April 2002. Majelis
Al-Dzikri Indonesia (MAI) adalah bagian dari Tasawuf Islamic Centre Indonesia
(TICI) yang dibentuk dan didirikan oleh Syaikh Hanafiah pada tanggal 2 April
2002 di Jakarta. Majelis Al-Dzikri Indonesia berubah menjadi Majelis Rabbani Indonesia (MRI) pada
bulan Mei 2003. Saat ini kegiatan majelis dipusatkan di Pondok Pesantren Rabbani
Solok, Sumatra Barat. Majelis ini berasaskan Islam dan berpaham ahlusunnah wal Jamaah, mengembangkan
dakwah Islamiyah, mengembalikan nilai-nilai dzikir, meningkatkan pengetahuan
umat Islam terhadap tauhīd,
mendorong terbentuknya umat yang beristiqamah, dan meningkatkan rasa ukhuwah
islamiyah.
Ilmu Ladunni
Pertanyaan yang selalu muncul, sekarang dan akan datang,
apakah masih ada orang yang mendapat ilham atau mendapat ilmu langsung dari
Tuhan tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW., sebagai nabi terakhir wafat?
Bukankah Islam sudah sempurna? Pertanyaan seperti ini pernah terlontar dari
seorang sahabat Nabi SAW., Anas R.A.: ia menuturkan ”sekali waktu aku (Anas)
mengunjungi Uthman R.A. Dalam perjalananku, aku berpasangan dengan seorang
perempuan, dan sejenak aku memandangnya seraya mengagumi kecantikannya. Ketika
aku masuk, Uthman berkata: ”Seorang dari kalian mendatangiku, sementara
bekas-bekas zina jelas tampak di kedua matanya. Tidakkah kau ketahui bahwa zina
kedua mata adalah melihat sesuatu yang haram? Atas dirimu.”Aku bertanya
keheranan: ”Apakah masih ada wahyu sepeninggal Nabi?” Jawab Uthman: ”Tidak,
tetapi ini adalah penglihatan hati, bukti firasat yang benar.”
Masalah ilham menjadi perdebatan di kalangan umat Islam sejak
dahulu. Hal ini dapat diketahui dari apa yang dikemukakan oleh Al- Gazālī dalam bukunya Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn, dalam bab ‘Ajā’ib al-Qulūb bahwa ada orang ya`ng
dipilih Tuhan untuk mendapatkan makrifah tanpa melalui pembelajaran seperti
biasa. Makrifah itu tersigkap (kashf) baginya melalui ilham, atau
terhunjam ke dalam hatinya dari arah yang tidak diketahuinya, hingga ia mejadi
seorang arif. Menurut Al-Ghazali, sangat sulit orang yang dapat sampai pada
tingkatan makrifah, tetapi orang yang belum berhasil sampai pada tingkat
seperti itu, seyogyanya ia bersedia mempercayainya.
Selanjutnya Al-Gazālī mengemukakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta dalil-dalil dari
pengalaman rohani beberapa tokoh dan ulama sufi. Berikut ini dikemukakan
sepintas dalil dari Al-Qur’an seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-’Ankabūt
[29]: 69, ”Orang-orang yang berjihad (berupaya sungguh-sungguh) dalam (mencari
keridaan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan mereka ’jalan-jalan’ Kami”. Al-Qur’an
Surah Al-Talāq [65]: 2-3:
”...Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” Yakni
diajarkan kepadanya pengetahuan tanpa melalui proses pembelajaran, dan
membuatnya pandai tanpa melalui pengalaman. Ayat lain dalam Al-Qur’an Surah Al-Anfāl
[8]: 29, ”Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah,
niscaya dia akan memberimu furqān.” Sebagian ahli menafsirkan, kata furqān
adalah cahaya yang membedakan antara haq
dan bάthil, dan mengeluarkannya dari
segala yang meragukan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. selalu memperbanyak
doanya agar diberi ’cahaya’. Hal ini seperti sabda Nabi SAW., yang artinya: ”Ya
Allah, berikan kepadaku cahaya tambahkan untukku cahaya, berikanlah cahaya di
dalam: hatiku, kuburanku, pendengaranku, penglihatanku, rambutku, kulitku,
dagingku, darahku, dan tulang-tulangku, ” (HR Bukhari dan Muslim). Nabi SAW.,
telah bersabda, ”Di antara umatku ada yang diberi ilham (muhaddath)
atau diberi pengetahuan khusus (mu’allam) dan diajak bicara oleh
malaikat (mukallam). Dan sesungguhnya Umar adalah salah satu dari
mereka,” (HR Bukhari).
Lebih lanjut Al-Gazālī mengemukakan ungkapan beberapa tokoh
Islam tentang ilham atau ilmu tanpa proses belajar. Ali R.A. pernah berkata:
”Tidak ada sesuatu yang disampaikan secara rahasia oleh Rasulullah kepada kami,
kecuali pemahaman khusus dalam kitab Allah yang diberikan kepada seseorang
hamba-Nya. Jelas, bahwa semua itu bukan melalui pembelajaran. Abū Dardā’ pernah
berkata: ”Orang mukmin ialah yang melihat dengan cahaya Allah kepada apa yang
berada di balik tirai yang tipis. Demi Allah, itulah kebenaran yang dihunjamkan
Allah ke dalam hati mereka dan dialirkan melalui lidah-lidah mereka”. Abū Yazīd
dan beberapa pendapat ulama yang senada dengan ucapannya: ”Seorang yang disebut
‘ālim bukankah yang menghafal dari kitab, yang kalau lupa, ia kembali
menjadi bodoh, tetapi sesungguh-nya orang yang benar-benar ‘ālim, adalah
yang mengambil ilmu dari Tuhan-Nya kapan saja ia kehendaki, tanpa belajar dan
menghafal. ”Itulah yang dinamai ’ilm rabbānī (ilmu yang langsung dari
Tuhan), seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi (18): 65: ”...dan kami ajarkan kepadanya ilmu dari
sisi Kami (ilmu ladunni).” Pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari sisi
Allah (min ladun Allah). Namun ada
ilmu (bahkan kebanyakan) yang diperoleh melalui proses belajar dari orang lain,
maka ilmu semacam itu tidak disebut ilmu ladunni. Adapun yang disebut ilmu
ladunni adalah pengetahuan langsung dari Tuhan yang terpancar dalam lubuk hati
secara khusus, tanpa sebab dari luar.
Beberapa contoh pengalaman spiritual yang dapat disebutkan
tentang ilmu yang langsung diterima dari Tuhan, seperti Abu Bakar Al-Siddīq
yang menyampaikan kepada putrinya, Aisyah (istri Rasulullah), bahwa adiknya
yang akan lahir dari rahim ibunya adalah perempuan, dan setelah lahir ternyata
benar anak perempuan. Umar ibn Khattāb R.A. Sementara berkhutbah, ia berteriak, ”Hai
Sariyah, berlindunglah di sisi gunung! Di sisi gunung!” Waktu itu, Sariyah,
sebagai komandan pasukan sedang berhadapan dengan musuh di daerah Siria yang
berjarak ratusan kilometer. Jelas bahwa pada saat itu, tersingkap bagi Umar
posisi musuh yang hendak menyerbu pasukan kaum muslim. Oleh karena itu, ia
segera memperingatkan mereka agar bersikap waspada.
Abū Abbās ibn Masrūq mengunjungi Abū Al-Fadl Al-Hāsyimī
ketika ia sedang sakit. Al- Hāsyimī dikenal sebagai orang yang miskin,
mempunyai tanggungan keluarga yang cukup besar, tetapi tidak ada orang yang
mengetahui dari mana ia mendapatkan belanja untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya. Kata Abbās selanjutnya: ”Ketika aku akan meninggalkannya,
terlintas sebuah pertanyaan dalam
hatiku, tanpa terucapkan, dari mana orang ini mendapatkan uang untuk kebutuhan
hidupnya? Tiba-tiba Al- Hāsyimī berkata dengan suara keras, ”Hai Abū Abbās,
jangan sekali-kali mencemaskan (dunia) yang hina ini. Sebab Allah SWT.,
senantiasa melimpahkan karunia-karunia lutf-Nya.
”Menurut Sulaiman Al-Dārānī: ”Hati manusia bagaikan bangunan kubah, dikelilingi
oleh pintu-pintu yang terkunci rapat. Pintu apa saja yang dibuka, pasti akan
berpengaruh padanya.” Jika pintu hati yang terbuka berhubungan dengan alam malakut, hal itu disebabkan karena mujāhadah
(latihan rohani) dan warā’ (mawas diri), serta berpaling dari berbagai
syahwat dunia. Oleh karena itu, Umar R.A., pernah menulis surat kepada pejabat
negara dan komandan pasukan seraya mengatakan: ”Perhatikan baik-naik apa yang
kalian dengar dari orang-orang yang taat kepada Allah. Sebab dari hati
merekalah akan terkuak segala kebenaran.”
Menurut Al-Gazālī, banyak sekali kisah yang berkaitan dengan
firasat para Syaikh, serta ungkapan-ungkapan mereka, sehingga tidak mungkin
terhitung jumlahnya, seperti kisah-kisah mereka tentang perjumpaan dengan
Khidir A.S., suara-suara gaib yang mereka dengar, dan peristiwa-peristiwa ajaib
yang mereka alami. Al-Gazālī juga mengemukakan dua bukti tentang kemungkinannya
terjadi kasyaf (tersingkap tabir).
Pertama, adanya ru’yah shadiqah
(mimpi yang benar) dimana dapat tersingkap hal-hal yang gaib. Kalau hal itu
dapat terjadi pada waktu tidur, maka tidak mustahil dapat terjadi pada saat
jaga (tidak tidur). Kedua, adanya pemberitaan kepada Rasul SAW., tentang
hal-hal yang gaib, maka tidak mustahil juga dapat terjadi pada orang selain
Nabi SAW. Nabi dapat disingkapkan baginya tentang pelbagai hakikat sesuatu, di
samping diutus untuk memperbaiki manusia, maka tidaklah mustahil ada juga orang
tertentu yang disingkapkan berbagai hakikat sesuatu, meskipun ia tidak ditugasi
untuk memperbaiki manusia, dan orang seperti itu tidak dinamai nabi, tetapi
dinamai wali.
Dalam komentarnya terhadap Fusūs Al-Hikam
karya Ibn ’Arabī, Afifi menyebutkan bahwa para sufi membedakan antara al-hikmah dan al-kitab dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 151: ”Sebagaimana
Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah,
serta mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu katahui.” Menurut para sufi, al-kitάb
adalah pelajaran agama khusus syariat dan yang berhubungan dengan hukum-hukum
yang juga dinamai al- al-’Ilm al-Zāhir,
sedangkan al-hikmah adalah pendidikan
batin yang dikhususkan kepada Rasul SAW., kemudian diwariskan kepada ahli
warisnya (ulama) sesudahnya, dan dinamai al-’ilām
al-bātinī. Dan yang dimaksud dengan ilmu batin menurut mereka adalah
ilmu tasawuf, yaitu apa yang terungkap
bagi sufi tentang hakikat sesuatu dan peristiwa gaib. Menurut Ibn Arabī,
di antara kekhususan al-hikmah adalah
turun ke hati, bukan ke akal. Hal ini jelas bahwa hati itu adalah tempat kasyaf dan ilham.
Sekurang-kurangnya ada
dua kitab Ibn Arabī (w.1240 M) yaitu Al-Futūhāt Al-Makkiyyah dan Fusūs
Al-Hikam, yang ditulis bukan berdasarkan hasil pemikirannya, tetapi
melalui pemberian Ilahi. Menurut pengakuannya, susunan bab dalam kitab Al-Futūhāt
Al-Makkiyah yang terdiri atas 4 jilid itu bukan berdasarkan pilihan dan
hasil pemikirannya, tetapi berdasarkan dikte dari Allah SWT. Lewat malaikat
pembawa ilham. Sedangkan tentang kitab Fusūs Al-Hikam
sebagaimana dikemukakan Ibn Arabi sendiri, bahwa buku tersebut diberikan oleh
Nabi SAW. untuk diambil manfaatnya oleh manusia.
Khusus untuk kalam ilham yang diterima Tuangku
Muhammad Ali Hanafiah sebenarnya bukan hal yang baru. Di antara ulama sufi yang
pernah menerima ilham yang mirip dengan itu, yakni didahului dengan ungkapan ”Wahai
hamba-Ku” ialah Abd al-Jabbār Al-Nifārī (w.354H/965M), seorang sufi yang lahir
di daerah Basrah, Irak dan meninggalkan karya yang berjudul Mawāqīf wa Mukhātabāt
(Posisi-posisi dan Percakapan-percakapan). Ia lebih suka menyendiri, seklipun
ia banyak melakukan pengembaraan ke berbagai negeri Islam. Tampaknya ia idak
mau memperlihatkan karyanya kepada orang banyak, sehingga ia tidak begitu
terkenal, sampai seorang orientalis Inggris, Arthur John Arberry, menemukan dan
menerbitkan pada tahun 1934.
Di bawah ini dikemukakan satu contoh kutipan dari buku Al-Nifārī:
Wahai hamba-Ku
Tobatlah kepada-ku
dari sesuatu yang kubenci
akan kuhargai untukmu
apa yang engkau cintai
Panggilah Aku dari kejauhan
dan kedekatkanmu
dan minta tolonglah kepada-Ku
terhadap fitnah dan kelurusanmu.
Wahdah al-Wujūd
Pada tahun 2003, Majelis Rabani Padang bekerjasama dengan
penerbit Rabbani Jakarta menerbitkan hasil penelitian saya dengan judul Kalam
Ilham Ilahi (kemudian tahun 2004 diterbitkan penerbit Hikmah, kelompok Mizan
dengan judul Sastra Ilahi). Saya
diminta oleh Tuanku Muhammad Ali Hanafiah membuat kata pengantar sebagai
peneliti. Dalam kata pengantar, saya kemukakan bahwa wahdah al-wujūd
adalah konsep tauhid yang paling tinggi dalam dunia tasawuf. Hal ini saya
peroleh dari kuliah dan bacaan di S2 di IAIN Alauddin Makassar dan S3 IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN), terutama disertasi alumni S3 IAIN
Syarif Hidayatullah yang dipimpin oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Tulisan saya
tentang wahdah al-wujūd dicoret oleh Tuanku Muhammad Ali
Hanafiah, kemudian saya mendapat keterangan, ia katakan: “Tidak ada sufi yang
berpaham wahdah al-wujūd. Untuk apa seorang hamba bersatu dengan
Tuhan. Apakah seorang hamba kalau bersatu dengan Tuhan, menjadi Tuhan juga?
Semakin dekat seorang hamba kepada Allah, semakin ia tawadu, merasa lemah,
tidak memiliki sesuatu, dan ketergantungannya kepada Allah sangat tinggi. Para
sufi ingin mendapatkan maqam cinta, yang menghasilkan ridha terhadap apa yang
diberikan Allah SWT., karena cinta kepada Allah adalah maqam tertinggi”.
Sejak itu saya kaget dan merasa membuat kesalahan karena
dalam tesis saya tentang Tarekat Sammaniyah di Sulawesi Selatan, tahun 1997,
saya memasukkan sebagian ajaran tarekat ini berpaham wahdah al-wujūd.
Sebenarnya tidak ada ungkapan wahdah al-wujūd dalam naskah-naskah
Tarekat Sammaniyah yang saya peroleh. Namun karena pemahaman saya waktu itu
bahwa ajaran tasawuf tertinggi adalah wahdah al-wujūd, maka
dicari-carilah kira-kira materi yang cocok untuk dimasukkan dalam sub bab wahdah
al-wujūd. Selain itu, Tarekat Sammaniyah di Sulawesi Selatan memang dituduh
berpaham wahdah al-wujūd.
Disertasi saya yang merupakan lanjutan dari tesis, membahas
tentang penyebaran dan ajaran Sammaniyah di Sulawesi Selatan. Ajaran tarekat
ini dianggap batil (bertentangan dengan syariat) oleh Syaikh Shidiq Dahlan
seorang ulama dari Mekah, menetap di Garut, Jawa Barat. Ulama ini mengeluarkan
fatwa tahun 1931, dibacakan di Mahkamah Syariat di Bone, disponsori oleh Raja
Bone, La Mappanyukki, dan dihadiri 26 ulama di Sulawesi Selatan. Ketika saya
menanyakan langsung kepada Khalifah Tarekat Sammaniyah di Pattene Maros, Sulawesi
Selatan, Abdullah Puang Rala, saya lebih kaget lagi karena selama ini mereka
dituduh berpaham wahdah al-wujūd, tetapi ia sendiri tidak tahu
apa itu wahdah al-wujūd. Hal ini juga berlaku pada Ibn Arabī yang
dianggap pendiri paham wahdah al-wujūd. Setelah diteliti semua hasil karyanya ia tidak
pernah menyebut wahdah al-wujūd. Namun lahirlah pendapat yang menyebut Ibnu Arabi sesat, di-ahlu
bidahkan dan menuduh ia keluar dari Islam. Bahkan ada terbit buku di Mesir yang
diberi judul Tahāfut Ibn Arabī. Ibn Arabī dalam kamus tasawuf (Istilāhāt
al-Sūfiyyah) sama sekali tidak menyebut istilah wahdah al-wujūd.
Mantan Syaikh Azhar, Abd al-Hālim Mahmūd yang dikenal sebagai Abū
Al-Sūfi menyatakan dalam bukunya al-Munqiz min al-Dalāl li Hujjah
al-Islām al-Gazālī mā ’Abhāth fī al-Tasawwuf wa Dirāsāt ‘an
al-Imām al-Gazālī bahwa paham wahdah al-wujūd bukan paham
para sufi, termasuk Ibn Arabī dan Hallāj.
Sepengetahuan penulis,
sampai tahun 1970-an tulisan-tulisan yang menyebutkan istilah wahdah
al-wujūd, paham hulūl dan
ittihād dianggap tidak bersumber dari Islam. Setelah tahun
1980-an baru muncul tulisan-tulisan yang menganggap wahdah al-wujūd
sebagai paham ketuhanan yang tertinggi.
Kehadiran buku ini juga
menjadi bagian upaya untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran tasawuf dan
meluruskan kembali pemahaman ketuhanan yang jauh menyimpang dari apa yang telah
diwarisi para nabi dan rasul yang menjadikan Tuhan bukan hanya tujuan
penyembahan semata, tapi juga sebagai kekasih bagi nurani hamba yang merindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar