Bersyukur kepada Allah*
Dr. Ahmad Rahman, MAg (Ahli Peneliti Utama
Balitbang Kemenag RI & Pembimbing TICI),
Dr. Zubair Ahmad, M.Ag
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah)
Syukur
secara sederhana berarti berterima kasih kepada pemberi sesuatu atas apa yang
telah ia berikan. Rasa terima kasih itu dapat diungkapkan dalam bentuk ucapan,
sikap, atau perbuatan. Pada dasarnya, bersyukur adalah memanfatkan segala
nikmat yang Allah berikan kepada kita pada jalan yang dikehendaki Allah. Nikmat
itu sendiri adalah anugrah berupa modal bagi manusia untuk melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah. Semakin modal itu dibelanjakan dan dikelola dengan
baik maka akan semakin bertambah. Inilah perniagaan yang tidak pernah
mendapatkan kerugian karena Allah telah menjamin hal itu, sebagaimana dalam
firmannya:
“Dan
(ingatlah), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (Ibrahim/14:7)
Artinya
bahwa harta yang kita miliki mestilah kita gunakan pada jalan yang dikendaki
Allah, misalnya untuk biaya kebutuhan keluarga, membantu orang yang
membutuhkan, infak, sedekah, dll yang semuanya dikehendaki oleh Allah. Bukan
dengan jalan mubazir apalagi kepada hal-hal yang maksiat. Begitu pula dengan
nikmat berupa jabatan atau kekuasaan, maka gunakanlah kekuasaan itu kepada
jalan yang dikehendaki Allah, seperti untuk kesejahteraan rakyat, pembangunan,
dll dan bukan untuk memperkaya diri dan kelompok, bukan untuk disombongkan,
bukan untuk mendapatkan pujian dari makhluk. Jadi, semakin orang memanfaatkan
hartanya di jalan Allah maka akan semakin bertambah, begitu juga jabatan.
Semakin jabatan dilaksanakan sesuai aturan yang diamanahkan dan yang
dikehendaki Allah maka akan semakin berpeluang untuk naik jabatannya (di
hadapan Allah), atau paling tidak akan bertahan.
Menurut
Maulana Syekh Muhammad Ali Hanafiah, hakikat syukur itu adalah perasaan untuk
melihat keagungan Tuhan di balik segalanya; sehingga kesyukuran itu tidak hanya
berlaku pada saat kita menerima nikmat dari Allah, tetapi juga terhadap sesuatu
yang hilang dan pergi dari diri kita. Karena, segala sesuatu yang datang dan
pergi itu adalah bukti kasih sayang Allah kepada kita. Dengan bersyukur,
menurut beliau, berarti kita akan merasakan bahwa segala yang datang dan pergi
dari diri kita merupakan karunia dan ketentuan Allah. Dengan memperbanyak
syukur, maka berarti kita secara pelan-pelan telah berupaya menghilangkan rasa
kepemilikan kita atas apa yang kita terima, tetapi akan terasa hanya sebagai
titipan. Semakin kita bersyukur maka kita akan semakin meningkatkan rasa
tawakkal dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itu,
tunjukkanlah rasa syukur itu walaupun nikmat yang didapatkan itu tidak tampak
oleh pandangan orang lain.
Ingatlah
bahwa rasa kepemilikan atau keakuan itu hanya pantas dialamatkan kepada Allah.
Dengan menghilangkan ego atau rasa kepemilikan kita terhadap sesuatu merupakan
gerbang pertama untuk mengenal Allah. Karena dengan merasa tidak memiliki
sesuatu, berarti kita hanya bergantung kepada Allah.
Perhatikan
Ilham Sirriyah dari Maulana Syekh Muhammad Ali Hanafiah berikut ini:
Wahai
Hamba-Ku: Aku itu adalah lambang kepunyaan-Ku, maka singkirkanlah keakuan yang
terdapat pada dirimu dengan melenyapkan segala “rasa” kepunyanamu terhadap
dirimu, dan kosongkan juah kalimat keakuanmu dari pada “rasa” pengakuannya
sendiri. Karena demikian itu adalah gerbang yang pertama untuk mengenal
Sifat-Ku dari dalam dirimu sebagai hamba-Ku. (Sastra Ilahi No. 74).
Jadi,
salah satu jalan membersihkan hati adalah dengan bersyukur yakni merasakan
bahwa segala sesuatu yang kita terima atau hilang dari kita sebagai karunia dan
ketentuan Allah, sehingga kita harus bersujud pada-Nya sebagai tanda terima
kasih. Inilah salah satu jalan untuk mengenal sifat Allah sebagai tuhan yang
mahakuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah,
Engkaulah Zat pemilik segala sesuatu, termasuk pemilik diri hamba-Mu ini.
Engkaulah Zat yang maha mengasihi dan menyayangi semua makhluk-Mu.
Karena
itu, ajari kami cara terbaik untuk bersyukur atas nikmat-Mu,
baik yang
dalam pandangan mata kepala kami tampak sebagai kemurahan-Mu,
maupun
yang tampak dalam pandangan mata kepala kami sebagai tanda kemurkaan-Mu. Kami
yakin Ya Allah, bahwa semua yang datang dan pergi dari kami adalah nikmat
dari-Mu, sebagai bukti kasih sayang-Mu pada kami.
Maka,
tanamkanlah di hati kami rasa untuk mengakui dengan sukarela atas semua
nikmat-Mu itu dan terimalah sujud kami sebagai tanda syukur pada-Mu.
Bawalah
kami ke gerbang pintu makrifat akan sifat-Mu dengan menghilangkan rasa
kepilikan atas sesuatu yang bukan milik kami, semuanya adalah milik-Mu, ya
Allah.
Amiin, ya
rahmaan ya rahiim…
*Disarikan
dari Materi Mukhathabah Ilahiyah (Dialog tentang Ketuhanan) di Masjid Baitul
Ihsan Bank Indonesia, Jakarta, Jumat 2 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar